Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan. Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya
hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya.
Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar
kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari
mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang
berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh
karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang
berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari
berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti
merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang
berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera,
kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan,
kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang
berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju
kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan
yang berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain
sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron
(lipatan) yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan
selendang pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang
dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain
ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak
kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan
hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan
merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana
berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan
sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya
menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa
ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan
umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang
baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian
muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang
terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi
pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk
pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan
untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang
dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran
yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai
sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga
melati dan tusuk konde.
Mengenai teknik dan cara membuat baju
kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga dipakai di
Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor
sebenarnya serupa dengan blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu
sehelai bagian depan dan sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah
lengan baju. Modelnya dapat ditambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi
panjang yang dipakai sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka.
Pada bagian badan kebaya dipotong
sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini dimaksudkan agar
benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit
melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan
samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing.
Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus
cukup lebar sehingga dapat dilipat ke dalam untuk vuring kemudian dilipat lagi
keluar untuk membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapatdikerjakan
dengan mesin jahit ataupun dijahit dengan tangan. Sedangkan busana di kalangan
pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju beskap
kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon),
kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki
(cemila). Busana ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara
lengkap dengan keris.
Meskipun seni busana berkembang baik
di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak
ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh
petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju
lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung.
Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka
memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada
bagian kepala memakai destar.
Salah satu jenis busana adat yang
terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa
Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan
tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya,
seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang
disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah
upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana
kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan
panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya
memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan,
sabuk timang, kain jarik, keris dan selop. Saat upacara ijab, busana yang
dipakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin
pria memakai busana basahan. Busana basahan pengantin pria disini terdiri dari
kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan
cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang dan selop.
Begitu pula pada upacara panggih
kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita
memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju,
melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh,
sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah.
Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna
dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini
berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain
dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kira-kira 4-5 meter,
dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit
terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik
cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi
bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik
tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin
pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari
kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana
cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan
kalung ulur. Pada upacara panggih ini, biasanya kedua mempelai pengantin
melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan. Perhiasan yang biasa
digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur, timang/epek, cincin, bros dan
buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita, perhiasan yang biasa dipakai adalah
cunduk mentul, jungkat, centung, kalung, gelang, cincin, bros, subang dan
timang atau epek.
Berbeda dengan tahapan upacara
sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana
kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop.
Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari
kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka
ladrang dan selop. Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik
pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada bagian wajah dan sanggul.
Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan
pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya
tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus
dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.
Busana Jawa baik pakaian sehari-hari
maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki
makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias yang dikenal di daerah Surakarta
maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tematema geometris, swastika
(misalnya bintang dan matahari), hewan (misal : burung, ular, kerbau,
naga), tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif
geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap
dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang disebut motif tangga
merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan
motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal
berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk
upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan
truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain
sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai. Fungsi pakaian, awalnya
digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas.
Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat,
sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai
alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.Pada masyarakat di Jawa Tengah,
khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat
bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan
simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan
dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih
cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar menjaga kehormatan diri seorang
wanita agar tidak mudah menyerahkan kewanitaannya dengan cara berpakaian
serapat dan serapi mungkin, serta memakai stagen sekuat mungkin agar tidak
mudah lepas.
terlalu banyak tulisan gambarnya kurang ya mas jompret
BalasHapusiya mkaasih mas yesaya atas sarannya mungkin lain kali saya akan memposting yang lebih variasi lagi
BalasHapus